Puisi Chairil Anwar 1949
Puisi Chairil Anwar 1949
Source : titikdua.net
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA
di pegunungan 1943
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
1949
BUAT NYONYA N.
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung burung asing, buah buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar lebar tidak bertepi
1949
AKU BERKISAR ANTARA MEREKA
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.
1949
YANG TERAMPAS DAN YAN G PUTUS*
kelam dan angin lalu mempesiang din’ku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI-DERAI CEMARA*
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
AKU BERADA KEMBALI*
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh.
1949