25 Puisi Lingkungan Hidup Dan Keindahan Alam Sekitar #1
25 Puisi Lingkungan Hidup Dan Keindahan Alam Sekitar #1
Source : Kozio.com
Puisi Lingkungan Sekitarku
Aku lupa memedulikan lingkunganku
Saat lingkungan ku kotor
Aku lupa membersihkannya
Saat ku tercemar
Aku tidak membersihkannya
Lingkunganku
Kau menjadi berpolusi karena manusia
Kau menjadi kotor karena kami
Semua ulah itu kesalahan kami
Lingkungan hidupku
Maafkanlah perbuatan kami
Maafkan pula kelalaian kami
Mulai saat ini kami pasti akan menjagamu
—
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki
Bagi kita bukan halangan
Karena
dalam taman punya berdua
kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
—
Kemarau Diam
Kemarau diam di jiwaku. Serangkai
bayang-bayang randu tumbang, berisi adzan
dengan pilu. Pahamilah bagaimana mataku rabun,
jumpalitan, begitu cemburu. Aku susuri ketiakmu,
tapi rupanya jalanan makin malam,
meski aku telah tinggalkan dirimu. Sepanjang keriuhan kelu,
mayatku terpencil. Ingus para pejalan bergayutan
di jenggotku
Seluruh kesumat dan derita memacu
pengetahuanku. Arwahku memanggil namamu,
sementara panorama lebur, selangkah demi selangkah
memudar, menjelajahi batu. Di dasar pijaran kabut,
aku adalah jenazah bagi setiap hasrat dan kesintalanmu.
Kegembiraanku mengintip tato kupu-kupu di pusaramu.
Malam makin dingin, mendzikirkan diamku.
Puisi Senja
Penampakan-penampakan gaib, samun, mencair
hitam bersama salju.
Karena bunga-bunga gugur adalah sihir
yang menghidupkan bangkai-bangkai, juga sajak-sajakku.
Demikianlah dingin meledak bersama shalatku.
Pohon-pohon yang rabun dalam gerimis kabur
bersama gemuruh. Aku wudhlu matahari
meniupkan terompet seribu tahun
di hari-hari pagi talkin seratus gerhana menafasiku.
Dunia kelak hanya kelam yang mempasakkan
gaung-gaung. Halimun menghirup mayat-mayat
rumput. Aku kini pelangi. Peneguh riwayat
ketelanjangan
letusan-letusan peluru.
—
Hijau Rindang Sekolahku
Di sini aku menemukan hidup baru
Dalam deraian syukur dalam kalbu
Menatap masa depan di dalam rumah keduaku
Sekolah tempatku mencari ilmu
Di sini, kehijauan yang menghampiri ruang dan waktu
Angin semilir diterpa kesejukan
Membelai tubuhku lembut
Kedamaian merasuk dalam hati
Di Sini, di Sekolahku
Aku duduk di bawah pohon
Diatas rumput hijau yang mengindahkan pandang mata
Dengan lembutnya semilir angin
Dengan sejuknya udara,
Sekolah adalah taman terindah pencari ilmu
—
Persamaan
Alam adalah kuil dimana pilar-pilarnya berjiwa
Kadang-kadang menggaungkan gebalau kata-kata;
Insane lalu di sana lintas rimba lambing dan tanda,
Yang menyuguhinya pandangan bagai seorang saudara.
Bagai gema-gema panjang yang berhimpun di kejauhan
Dalam suatu pumpunan yang dalam dan gelita,
Luas seperti malam dan laksana siang megahnya,
Aneka wangi, warna dan bunyi lalu berjaawab-jawaban.
Ada bauan ssegar, bagai daging kanak-kanak menghawa.
Manis bagai seruling, hijau seperti padang-padang
-dan juga si kaya busuk dan serba megah,
Yang bagai hal-hal abadi, menyan dan cendana.
Bagai ambar dan kesturi di dalam kembang,
Yang menyanyikan gairah dari nafsu dan jiwa.
—
Puisi Keindahan Lingkungan – Hamparan Mutiara
Sepi hening dikeramaian
menatap hari tanpa dedaunan
tak satupun serpan daun menerawang
menutupi diri dalam ketenangan
berdiri sepi menatap rembulan
ditemani sang kekasih malam
hamparan mutiara bersinar terang
tanpa bunyi rembulan malam
diri runtuh benuh keikhlasan
menuntun diir mengharap penerangan
wujut nyata tanpa bayangan
mensyukuri indahnya angin
menitih air dari rembulan
melapas angan angan menunggu ke ikhlasan
agar datang ketenangan
—
Aku dan Bangau
Air danau nan tenang
Nyaris beku oleh dinginnya musim
Kala bangau menari diatasnya
Menari bagi sang kekasihnya
Aku berdiri di tepi danau itu
Menikmati indahnya salju yang turun
Lalu aku berteduh di sebuah paviliun
Duduk dan minum teh yang hangat
Bangau-bagau itu menari terus
Tak jarang bangau itu terbang dan mendarat lagi
Sebagian lagi terlihat cemas dan khawatir
Seperti ada sesuatu akan terjadi
Aku berpikir sejenak sambil memandang mereka
Apakah mereka bangau yang kebal udara dingin
Rasanya aku ingin berbagi tehku pada mereka
Tapi mereka hanya terus menari
—
Hujan
Hujan turun deras menjelang bulan sebelas
Menyirami halaman depan yang selama ini gersang
Rerumputannya kembali tumbuh hijau
Yang dulu meranggas dimusim kemerau
Kali kecil naik sampai pinggang
Bau tanah basah menguap dari kebun belakang
Aroma pagi terasa hingga siang
Suasana hati sejuk riang
Lelah luluh tak tunggu larut
wajah – wajah pulas tak berkerut
seakan hilang semua kemelut
seakan hidup tanpa maut
—
Nostalgia Negeri Sampah
aku tak lagi heran
nusantara ini dipenuhi lautan sampah
disana-sini sering aku memandanginya
kotoran-kotoran manusia yang sejak lama telah ada
untunglah,
masih masih ada mereka
mereka sudi memilih dan memilah kotoran-kotoran itu
biarkan saja…
isi perut mereka adalah hasil jerih payahnya
—
Puisi Lingkungan – Alamku Berbicara
Pertiwi kini berduka,
Pertiwi kini berteriak,
Memangil, mencari,
Dimana manusia berada???
Pertiwi berkata
Masih adakah manusia yang akan melayaniku???
Kutumpahkan lahar di Jogja,
Kuberi air bah untuk Mentawai,
Kudatangkan banjir untuk Wasior,
Dab kubuat Jakarta tenggelam,
Hutanku, kekayaanku,
Telah kau rampas dengan paksa,
Kau curi seluruh isi perutku…
Aku hanya ingin kau lindungi agar ku dapat bertahan,
Dan dapat memberikan nafas kehidupan untuk mu manusia
Lindungi aku, dan jangan rampas hak milikku
Aku menangis karena kau sakiti,
Dan kau menangis setelah aku tumpahkan isi perutku
—
Puisi Bencana Alam – Tanah Longsor
Suara gemuruh menderu-deru
Ku pikir itu kendaraan yang berlalu
Namun orang-orang mulai berteriak pilu
Kulihat tanah melaju, menuruni bukit-bukit biru
Ia menerjang apapun, menimbun semuanya seakan tak mau tahu
Ia menimbun semuanya, menjadi serpihan debu
—
Rinduku pada hutan
Rinduku pada Hutan
Menghirup udaranya
Memandang Rimbunya
Hijau Daunnya
Sepinya
Rinduku pada hutan
Menginjak rumputnya
Embunnya
Rinduku pada hutan
Mendengar kicau burungnya
Teriakan sang kera
Auman harimau
Kegesitan kijang
Atau ular yang melata
Rinduku pada hutan
Rindunya kehidupan
—
Membaca Tanda-tanda
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan
Meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
Tapi, kini kita telah mulai merindukanya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut tampaknya
Burug-burung kecil tak lagi berkicau di pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa banjir
Banjir membawa air
Air mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
—
Alam Desaku
Kulihat sawah membentang
warna hijau bagai permata alam
kucoba telusuri jalan
akankah tetap begitu
Kuingin tetap begini
terlihat apa adanya
kuingin tetap begitu
terlihat kenyataanya
Mentari mulai tenggelam
dan..akupun teteap disini
menikmati alam yang ada
anugerah dari yang kuasa
Oh..alam desaku
…aman dan damai
Oh…. alam desaku
….lestarikanlah
—
Puisi Lingkungan – Lembayung Jingga
Lembayung jingga masih setia
diatas bukit yang sama
beranjak perlahan melepas senja
menunggu sesaat sambut kejora
Sedikt engkau terlihat resah
saat pekat hendak menjelma
seakan kau terluka
saksikan kiprah para manusia
Raut wajahmu tak seindah dulu
selalu ceria dan tak pernah sendu
kini kau simpan dendam menggebu
pada kami yang merasa tak tahu
Kau tatap kami dengan sinarmu yang tajam
bagai ceria yang siap menghujam
tanpa merasa ada batas yang menghadang
karena kami yang selalu jauh pada Sang Khalam