Sajak-sajak Terbaru dan Terbaik Nanang Suryadi #2

Sajak-sajak Terbaru dan Terbaik Nanang Suryadi #2

Source : nanangsuryadi.blogspot.com



Di Usia Tiga Puluh Delapan Tahun


aku mengucapkan terima kasih, atas segala kasih yang kuterima, cinta yang selalu menyala di dalam dada

aku pungut tangis dari matamu, kita yang berbeda, menemu yang sama dalam airmata

Malang, 8 Juli 2011



Serupa Jarum Yang Menghujan

serupa jarum menghujan suatu ketika, kenangan meluncur tak habis-habis dari langit masa lalu, ingatan tak henti memutar bayang

jarum-jarum yang meluncur menancap di kepala, bayang memutar, ingatan seperti sekeping cakram yang memutar film berganti ganti: tawa tangis sedih gembira

menari di dalam ingatan yang berputar dalam kepala, dan kenangan merajam menghujani dengan jarum-jarum ke dalam benak

ingatan tetap menghujanimu dengan jarum-jarum. kenangan o kenangan menghujan hujan. dan engkau menari dengan pedihnya

o kenang yang menghujan!

Malang, 31 Mei 2011





Serupa Pohon

serupa pohon, tak inginkah hidupmu mengakar? serupa pohon tak inginkah riwayatmu berbuah lezat. dan kami semua berterima kasih

mungkin ingin kau rencanakan riwayat khianat, tapi kami akan segera tahu. jika kamipun tertipu, tapi kau pun tahu Tuhan tak pernah akan tertipu

jadilah pohon yang baik, riwayat yang tak henti dikenang doa-doa

Malang, 31 Mei 2011



PRANG!


benderang terang siang yang garang. adakah yang sedang membayang kenang? hingga angan menjalang menyalang ingin menerjang terjang.

melayanglah melayang angan menerbang terbang ke awan tinggi ke langit harap menjulang julang hingga menyeberang gegap mengerang hilang

serupa cenayang melihat bayang membayang bayang di cermin yang timbul hilang berseru seru: o sayang o sayang tak kau pandang diriku meriang?

tak usahlah berang serupa berang-berang mengamuk menabuh genderang menarik temberang layar kapal perang

Malang, 31 Mei 2011



Kau Bangun Dinding


:bagi para penguasa yang menjauh dari rakyat

dan jarak sanggupkah engkau mengukurnya, dinding yang dibangun terlalu tebal untuk bisa menjangkau hati yang menyimpan cinta

dan batas sanggupkah engkau melintasinya, karena bara api menyala, mendidihkan isi kepala

ada yang mengaduh, aduhnya sampai ke bulan. ada yang memendam pedih, mendungnya menutup cahaya matahari

Malang, 30 Mei 2011



Malam yang ditikam Sepi


malam rebah, takluk pada sunyi. diam yang tabah, menakluk bunyi.

malam ditikam sepi tikamannya sampai ke lubuk hati puisi

aku berdiam pada semesta tanda, terjemahkan isyarat dari kedalaman jiwa

Malang, 30 Mei 2011



Karang Yang Mengeluh Rapuh


gelombang menghantam-hantam karang yang merapuhrapuh duh kenapa hanya keluh? sepercik keluh menggelombang kian kemari

jika engkau adalah menara mercu suar, mengapa lampumu padam, tak kau tunjukkan arah para pelaut? hingga kapal-kapal akan karam di karang

tak perlu airmata itu, jika untuk dirimu sendiri! setiap kali kami bertarung dengan gelombang hidup, apakah engkau peduli?

kami gusar dengan kesulitan hidup, engkau gusar dengan bayanganmu sendiri

kami harus megap-megap di lautan lumpur, lautan kemiskinan engkau dimana?

baiklah, tak ada yang perlu ditanyakan lagi. kami tahu, dan berbelas kasihan kepada orang yang mengasihani diri sendiri.

Malang, 30 Mei 2011



Menatap Cermin Diri Dinihari


apakah aku ada? aku bayang bayang jika cahaya ada

yang sunyi. yang sunyi. menatap cermin diri. di tepi dini hari

aku ingin diam, karena hati dan otakku cerewet sekali

aku menadah embun, langit luas tak terkira heningnya

dinihari menunggu matahari menjemput embun di pagi hari

segala akan tiada, segala akan kembali ke asal mula

Malang, 30 Mei 2011



Kepada Para Pembaca Puisi


aku ingin menyapamu dengan kata-kata yang tak mudah dilupakan, kata-kata yang dipungut dari jemari waktu yang ingin kekal

aku bersandar di dinding angin. angan yang melepuh di terik matahari. hidup sukar dimengerti, pun cinta yang bertekateki

jika di dalam dadamu ada sumber mata air, mengapa tatap mata mendidih oleh marah? serupa bumi yang resah, ingin muntah

berlabuhlah angan, di pelabuhan mimpi, berlabuhlah di dermaga yang menunggu. pelaut yang lelah menerjang badai, istirahlah

Malang, 23 Mei 2011



Di Larut Malam, Mengapa Kuingat Neruda Menulis Sajak Kesedihan?


detak jam, detak jantung, berganti ganti, di puncak malam, hening adalah jeda, detak demi detak, membuatmu terus terjaga

mengapa tak kau tulis saja sajak tersedih, hingga tak tersisa lagi airmata dari kata, hingga sempurna pedihnya!

malam telah larut, telah larut jugakah segala kenang? ke dalam mimpi, ke dalam mimpimu

di dalam mimpi, ada yang melayar, layar yang berkibar kibar, mengabar kabar, menahan debar

selamat malam, huruf huruf memburu langit, temaram yang demikian lapang

tapi mungkin bukan dirimu yang menorehkan kata luka, di langit malam. karena heningnya demikian bersahaja

jam jam tak lagi mengaduh, detaknya bertingkah dengan degup, semacam gugup? cahaya yang meredup

pernahkah engkau berdoa. dan detak jam mengaminkan tetes airmatamu?

rasakan keheningan itu, rasakan malam yang memberat di pelupuk mata, memberat dengan ingatan ingatan

malam, seribu bayang bayang, malam, semayam kenang, malam, selamat malam. dan bayang dan bayang!

Malang, 23-24 Mei 2011



angan membakar, jiwamu sepi


ah, jiwa yang hampa, melayang di langit mimpi, angan membakar, jiwamu sepi

sesayap patah, sesayap mengepak lelah, di mana tuju kiranya!

apakah ini senja penghabisan? petualang tak ingin segera pulang. sebelum sampai pada airmata!

para petualang menapak di awan di awang-awang menari-nari di gelombang garang. sambil berteriak: mana mautku! mana cintaku!

mereka telah belajar memanah matahari. yang teriknya demikian pongah. mereka telah berburu ajalnya sendiri.

ujar mereka: dapatkah kau bedakan laut atau langit? karena di birunya aku tangkap paus yang terbang. karena di birunya burung berenang

ah, engkau yang tak tahu arah, berburu ke lembah-lembah, membawa lembing panah kata, bertualang dari mimpi ke mimpi, dari ilusi ke alusi

kau tahu, hanya sepi dan sepi yang dapat dijangkau!  seperti dalam racau yang tak habis, dalam galau yang tak selesai. sepi. cuma. sepi

sepi yang kemarau. sepi yang penghujan. sepi yang bermusim-musim. sepi yang menjalar gatal di seluruh tubuh. selalu ingin digaruk.

sepi yang mengamuk: mengutuk kutuk!

ah, jiwa yang hampa, melayang di langit mimpi, angan membakar, jiwamu sepi

Malang, 23 Mei 2011



hidup memang telah terlalu rumit, dan aku ingin yang sederhana saja


hidup memang telah terlalu rumit, dan aku ingin yang sederhana saja

tak ada yang perlu kita khawatirkan, sejauh jalan terbentang, kita selalu bersama, menempuh leliku hidup

kemana kita akan pergi? harap adalah kaki cakrawala yang selalu menjauh,

tak ada yang perlu kita khawatirkan, biarkan dunia berdusta, cinta kita tetap jujur adanya

kau tahu, di dalam puisi tak ada yang bisa sembunyi, karena kata selalu membuka rahasia hati kita

kita berada pada jeda demi jeda, perhentian demi perhentian, hidup hanya seteguk teh, kita akan pergi lagi

jiwa kita jiwa yang merdeka, jiwa yang merdeka menentukan jalannya

namun ke dalam cinta-Nya kita akan kembali

Malang, 19 Mei 2011



ada gempa di kepalaku

ada gempa di kepalaku. ada gempa

gempa menggoyang goyang isi kepalaku. pengetahuan muntah!

ada yang bergoyang dalam kepalaku. perahu oleng

dimana banjir itu? pengetahuan yang meledak di angkasa sepi

serupa gelembung yang ditiup. meledak di langit yang hitam. tak ada suara. kau dengar? ada gempa di kepalaku

bidiklah setepat mungkin: bulan bundar kuning keemasan. di langit yang hitam. bikin terangnya semakin benderang.

tapi kepalaku bergoyang. gempa menggoyang-goyang kepalaku. kakiku lunglai. goyah lemah. tak bisa membidik rembulan. tak

aku merangkak. di puing-puing ilmu pengetahuan. big bang pertama. big bang kedua, big bang ketiga. aku meledak!

rasakan sunyi. raskan sunyi tak terhingga. demikian sunyi. hingga ada kata. kata yang membuat ramai semesta.

demikianlah. segala yang sunyi akan kembali ke sunyi tak terhingga. tak terpeta di sunyi mana pun juga.

demikian sunyi. di dalam kepalaku ada gempa. tak kau dengarkah?

Malang, 18 Mei 2011



Masih Kau Ingat Mei 13 Tahun Lalu?


 di bulan mei, masihkah kau ingat cinta yang terbakar di kerusuhan itu

hanya cinta yang dapat menumbangkan tirani! karena kebenaran dan hati nurani, cinta bermula

ya, hanya yang ingin melupakan cinta, tega aniaya!

Malang, 12 Mei 2011



demi waktu. demikian waktu


di keluasan semesta, kita hanya debu, setitik di detik yang fana

pernahkah kau bayangkan, kita ada di dalam setitik embun yang jatuh dari daun itu. menunggu sirna dicium cahaya matahari

di detik itu mungkin ada detak yang ingin kau rasakan, semacam ingatan dari masa lalu, sebelum waktu menaklukkan

di lubang hitam waktu berhenti, dan kita abadi, ketiadaan yang abadi

demi waktu. demikian waktu

Malang, 11 Mei 2011


 Insomnia: Ada yang berloncatan di dalam kepala


dapatkah kau bedakan suara jangkrik dan ular di malam hari?

malam tak benar benar senyap, kucing mengeong berkelahi di atap rumah tetangga

di dalam kepalaku ada penyair membaca puisi

tidurlah! kata penyair membacakan puisinya di dalam kepalaku yang semakin berat, menahan pusing

jangan bermain perkusi dalam kepalaku!

haha. malah peta peta digambar, peta nasib, geografi diri, anatomi pengetahuan

malam yang melantur melentur melenting di lampu yang redup membentur bentur mimpi yang tak mau tidur

aku enggan menyapamu! suara suara bercakapan sendiri, menjawab, bertanya, menjawab, hahahihi

yup! mulai. gergaji menggergaji hutan hutan tumbang dalam kepalaku. palu palu berdentangan memukul paku paku. sabit memotong langit

jangan genit ah! kata kata bersolek untuk apa? dipulas poles tak habis, akan secantik semolek apa? Kata!

malam malam begini, dapatkah kata mencipta nasi goreng atau mie instan rebus, spesial pakai telor? sia sia permintaan kala sepi begini

hei, gergaji tidurlah! palu tidurlah! sabit tidurlah! jangan terus bekerja di malam hari. tidur, di dalam kotak perkakas dalam kepalaku

tak ada yang peduli. tak ada. semua bermain-main seenaknya dalam kepalaku. mereka bilang: BIAR!

11 Mei 2011



DONGENG PENYAIR


; arthur rimbaud

mendongenglah tentang penyairmu itu, yang berlari di tengah hutan belajar menulis puisi

seorang penyair, masih belasan tahun umurnya, usia birahi pada kata kata

dia terus berlari berkilometer jauhnya menembus hutan, hanya untuk sebuah kata yang ingin ditulisnya, birahi cintanya

dia memungut kata dari luka, onak duri menusuki tubuhnya, dia terus berlari, menembus kabut di pagi dan senjahari, hutan yang gelap

satu kata dua kata tiga kata seribu kata sejuta telah terkumpul dalam kitab di kepalanya. kata kata berpesta pora

kau tahu, penyair itu akhirnya pergi, dari hutan kata kata, karena katanya: itu hanya permainan kanak, usia remaja

ia tak lagi peduli pada kata. tak peduli namanya disanjung dipuja, penyair penemu kata. dia berkelana, menjadi pedagang budak saja

sesekali ikut berperang, membawa senjata api, membawa sangkur belati. dan mati. sekian

Malang, 11 Mei 2011