Sajak-sajak Terbaru dan Terbaik Nanang Suryadi #1
Sajak-sajak Terbaru dan Terbaik Nanang Suryadi #1
Source : nanangsuryadi.blogspot.com
KUCARI ENGKAU, TAPI KATAMU KAU CARI DULU DIRIMU SENDIRI
kota demi kota menyimpan jejak kakiku, kenangan demi kenangan menera peta dalam sajakku, tapi dimana diriku sendiri?
dari ceruk ke ceruk, dari palung ke palung, kucaricari rahasia diri, dimana sembunyi jawab atas tanya, o dimana?
di tanur tanur rindu cintaku ditempa, hingga muai oleh api cemburu, hingga murni, cintaku padamu
berkali-kali aku gawal dalam uji, berkali-kali kau ampuni, karena cintamu kutahu, karena cintamu. memberi arti
di puncak malam ada yang tugur, menunggu sunyi gugur, sebagai airmata yang bercahaya, melarutkan kesah ke lautan maha Cinta
Malang, 2011
DENGAN SAJAK KUKABARKAN PUISI
Sajak adalah mata kanak kanak yang bening tak berdosa, temukan rahasia di balik teka teki waktu, sebuah kehendak
Kau tak dapat berbohong dengan sajak, karena sesungguhnya hatimu telah menera jejak
Jika kabar demikian samar, sajak mengajakmu untuk menebak, teka teki kehendak
Puisi telah memenuhi ruang kepalaku, riwayat riwayat yang minta dicatat, keindahan yang minta dikabarkan
Dari hati kembali ke hati, dari cinta kembali ke cinta, demikian puisi akan kembali kepada puisi, di dalam diri
Bukankah menginginkan rumah yang nyaman, demikian pula puisi, ingin layak diletak di rumah sajak
Malang, 2011
KAU MERASA MENJADI SESUATU YANG TAK KAU PAHAMI
serupa gerimis, puisi menyimpan tangismu diamdiam, turun perlahan, di malam yang tak pernah kau akui mencintai sepinya
sebuah sajak kau nyalakan di malam yang demikian rapuh, serapuh dadamu yang tak mampu menahan tangis
kau merasa menjadi malam yang tak pernah dicintai, selain dikutuk mercusuar yang sepi, laut yang gaduh dan perahu yang kehilangan arah
engkau merasa menjadi perahu kecil yang terombang ambing di laut badai di kerdip pasi cahaya mercusuar yang sepi
engkau merasa menjadi badai di laut yang gaduh memecah di pantai yang jauh menghempashempas tak henti
kau merasa menjadi mercusuar di laut badai, kerdip demikian sepi, di dalam deru, demikian pasi cahaya, demikian sepi
Jogja, 2011
HURUF-HURUF MENGGELETAR
langit yang lengang, udara panas, tapi aku menggigil dalam sajakku sendiri. huruf-huruf meminta dituliskan dalam darah. dalam derita airmata
huruf-huruf menggeletar menggelepar memburu jawabku: “cintamu palsu, nafsu birahi melulu! apakah kau dengar jerit pilu di lapangan eksekusi?
“masihkah engkau ingin menulis sajak cinta, saat keadilan teraniaya?” demikian sebuah suara. dan aku tergagap gila.
ya, kita terlalu banyak berbicara, memperdebatkan yang hanya bisa dirasakan, di dalam dada kita sendiri.
ada apa di luar sana, masihkah cinta diperdebatkan, udara tropis yang panas tapi aku gigil mengeja cinta yang berteka-teki
aku bayangkan ada serpihan-serpihan salju meluncur dari langit yang lengang, langit abu-abu, di saat gigil memandang jendela
Malang, 2011
MALAM MENYIMPAN AIRMATA
malam menyimpan airmata, dan mengembunkannya di pelupuk mata, matamu. serupa sajak, yang menerima kesah, tanpa menggerutu.
malam telah menegaskan kelamnya, kita menggambarnya dengan cahaya, lampu lampu berkedipan, berpendar di kejauhan
peluk aku, sebelum waktu berlalu beku, sebelum padam segala damba. peluk aku!
kita menuai ingatan ingatan, yang berlepasan, semacam rasa bahagia yang diputar kembali, dalam benak yang menyimpan senyuman
ada suara bergema dari masa lalu, denting piano, getar senar gitar, sajak-sajak yang menyimpan pedih, sejarah airmata
ada yang mengulang ulang kabar, mengeja airmata, karena cuma itu yang tersisa, mengingat jejak yang kian pudar
apa yang terlukis, mungkin gelisah waktu, detak jam dalam jantungmu, menyerunyeru
kita mengeja isyarat tanda, jejak pada sajak, mimpi di dalam puisi, wajahmu wajahku pulalah tercermin di sana
pada gigil udara kita mengeja isyarat semesta, yang mengada dan meniada, hanya satu adanya
Malang, 2011
Kepada Tuan Sapardi
Kanak kanak yang melipat kertas itu, kini menemuimu tuan, mencari perahunya yang terdampar di bukit, mimpimu saat itu
Hujan yang turun di bulan itu tuan, kabarkan pohon tak lagi tabah, menunggu kemarau yang tak menepati janjinya sendiri
Kanak yang membayangkan rumahmu, melukis dengan cat air: tiang listrik yang marah pada angin, “Jangan ganggu mimpi anak itu”
Siapakah kanak kanak yang membayangkan hidup demikian keras, mungkin engkau yang menggambar demikian tergesa, di dalam mimpimu malam ini
Malang, 2011
sungguh darimu cinta berasal, kepadamu cinta akan kembali
aku terima cintamu seikhlas hatiku, sungguh engkau maha pendengar segala keluh
segala adalah milikmu, segala adalah cintamu, aku berada di dalam rengkuhmu
jika rinduku adalah rindu yang dusta, jika cintaku adalah cinta yang dusta, tapi mengapa debar di jantungku selalu menyebut namamu?
jika mencintaimu adalah ujian, beri aku kesempatan lulus mencintaimu
jika hatiku terus bergalau, adalah ruhmu dalam diriku yang terus menyeru, merindurindu cintamu
sungguh aku teramat lelah, beri diri ketulusan berserah, di dalam pelukmu aku istirah
cintaku teramat rumit, menerjemah cintamu yang sederhana
akulah debu, dan engkau keluasan tak terhingga, aku debu yang tak sanggup menerka rahasia cintamu
berulangkali aku meruntuh, tapi cintamu tetap utuh
aku galau yang meriuh, dan engkau keheningan yang menerima segala aduh
suara suara yang diterbangkan angin, menggema di relung-relung, suara suara yang memanggilimu, rindu
doa-doa yang memenuhi langit bumi, entah berbisik entah memekik, ingin menyibak tabir rahasia: cintamu utuh
wahai, para perindu berbondong-bondong memburu cahaya, dengan sepenuh harap, kau catat: rindu yang bercahaya
karena cinta bersedih jika tanpa balas, maka jangan kau pupus harap perjumpaan denganmu. hidupku fana, tapi cintamu kekal
jangan tolak rindu cintaku, karena tanpa cintamu hidupku akan hampa, tak berarti apa-apa
aku tak akan menyeka airmata tangisku, karena telah menjadi saksi cintamu memang pantas dirindu selalu
aku menulismu dengan huruf besar atau huruf kecil, aku tahu kau tahu seberapa besar rinduku
aku telah luluh, merindumu seluruh, sebagai daun yang luruh tulus mencium bumimu menerima isyarat cintamu penuh
aku dan engkau, perindu dan yang dirindu, saling merindu untuk bertemu, walau tiada jarak cintaku cintamu
jika mata lahirku tak mampu memandang cintamu, mata batinku silau oleh cahaya cintamu. tersungkur aku, gemetar dalam sujudku
duhai, jika puisiku adalah kebohongan, maka telah tersesat aku di lembah kata-kata, mencarimu
aku peminta-minta, mengemis cintamu senantiasa, dan engkau maha kaya
jika aku selalu saja lupa dan melupakan dalam khilaf alpa, maka sungguh engkau tak pernah lupa
sajak sajak berlepasan berhamburan ingin bicara padamu, duhai awal mula kata
kalimat kalimat berlepasan berhamburan ingin bicara padamu, wahai awal mula kata
kata-kata berlepasan berhamburan ingin bicara padamu, wahai asal mula kata
huruf-huruf berlepasan berhamburan, ingin bicara padamu, wahai engkau mula segala mula
dan kesenyapan menyapa, senyap yang melebur segala gaduh ramai dalam diri, hanya airmata duhai kekasih yang dirindu cintanya
sayapsayap cahaya menerang langit cintamu, membuka fajar, harap bertumbuhan sebagai tunas yang menyapa semesta penuh bahagia
sungguh darimu cinta berasal, kepadamu cinta akan kembali
Malang, 2011
Kita adalah jiwa yang saling menyempurnakan
Kita adalah jiwa yang saling menyempurnakan. Aku separuh jiwamu. Kau separuh jiwaku. Kita adalah jiwa yang utuh. Setubuh
Kita belajar untuk tabah, pada mata kanak yang menatap kita penuh harap: cinta yang tulus, setulus mata itu, bercahaya
Kita lewati peristiwa demi peristiwa, peta nasib yang digambari langkah kaki: cinta yang tabah dan sabar
Kita sandarkan angan dan ingin tidak pada angin, dengan jejemari kita susun bata demi bata kebahagiaan, di rumah cinta
Kita berdekapan, cintaku dan cintamu menyatu di dalam cinta-Nya yang satu
Malang, 27 Agustus 2011
Tiba-Tiba Aku Teringat Malna
tiba-tiba aku teringat malna. apa kabar malna? aku menggali kedalaman airmata dan menemukan orang-orang menangis: dimana diri sendiri?
hidup berputar dari huruf ke huruf, sesempit ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi. apakah kamu sudah mandi? memadamkan kepala dan bantal yang berasap
aku telah bertemu acep syahril, dia bilang malna ingin menulis di luar puisi. jangan menangis, seperti puisi yang tak bersedih. memang udara memar
bermainlah dengan jilan. batu-batu akan pindah ke halaman. sapi-sapi tak akan lagi melenguh mengeluhkan paru-paru penuh batu
nomer telponmu hilang. hapeku rusak terbanting. aku tak bisa kirim sms ucapkan selamat lebaran. bulan ditebak di langit hitam
apa yang kau lihat di malam lebaran malna? apakah seperti sitor melihat bulan di atas kuburan. serupa tanda. puisi yang meremang. isyarat
ah bulan, bulan yang samakah tertusuk ilalang? mungkin kau ingat garin dan zawawi. atau sapardi?
di restoran itu, aku lihat kau kenakan kalung pemberian teman. bukan ole-ole buat si pacar. ah, chairil dia menyimpan bulan memancar
apa kabar malna? aku menulis puisi dari ingatan sejarah yang melepuh. migrasi bahasa 140 karakter. ada tardji yang kerap kusapa di sini
apa kabar?
Malang, 8-9-2011
Sajak Yang Bersyukur dan Merdeka
Sajakku pagi ini adalah sajak yang tak henti berucap terima kasih, rasa syukur tak terhingga, sebuah doa
Kita menunggu secercah fajar, harap yang lahir senantiasa, di penghujung malam, kita berdoa: bahagia untuk semua
Kita terus berdoa, berterima kasih, karena kita tetap manusia, yang punya harap dan cinta
Adalah gema, dalam dada, ucapkan cinta, kepada kehidupan, o manusia merdeka!
Malang, 17 Agustus 2011
Huruf yang Letih dan Kesunyian Penyair
menatap huruf huruf yang letih,
biarlah tertidur dalam istirah,
biar lelah lebur dalam sunyi yang mendalam
para penyair berumah di dalam puisi,
berdiam dalam sunyi
di dalam sunyi
penyair membaca makna
rahasia diri
di dalam sunyi
penyair menghikmati cinta
menghidmati rindu,
keabadian dan kebenaran sejati
Malang, 16 Agustus 2011
di sunyi itu ada yang memintamu membaca
malam kuyup dengan cahaya bulan, dan gundah ini? kuyup dengan cahaya matamu
apa yang digelisahkan dari ketiadaan? tiada. hanya kesunyian tak berbatas tepi. sepi. teramat sepi
di sunyi itu. ada yang memintamu membaca. bacalah! bacalah! dan engkau akan mengerti: Diri
Malang, 16 Agustus 2011
Di Pagi Hari
Kabut menyapa jalan-jalan. Kabut masih menunggu cahaya, yang akan menjemput. Bersama senyum matahari.
Di gigil udara, puisi mendaras embun ingatan, hingga cahaya menghangatkannya
Bulan di puncak bukit. Perlahan sembunyi. Ucapkan selamat pagi kepada matahari
Jalan-jalan masih menyisakan cahaya lampu, yang tak tertidur sepanjang malam. Selamat pagi. Tidurlah segera, kata matahari
Malang, 15 Agustus 2011
Mencintaimu
: kunthi hastorini
Aku hikmati hidup ini,
dengan mencintaimu setulus hati,
ungkapan syukur tiada henti
Aku hikmati hidup ini,
sepenuh khidmat, usia demi usia semoga tak tersia,
mencinta karena Maha Cinta
Karena mencintaimu
adalah ibadah hidupku,
mensyukuri sebuah karunia
Di dalam Cinta, kita berdoa
Malang, 7 Juli 2011
AKULAH BURUNG YANG MENYAPA SETIAP PAGI
sayapku terlalu mungil untuk mengepak jauh ke langit rahasiamu. hening yang asing. sunyi yang tak terkira
kicauku terlalu parau terlalu sengau kabarkan cinta yang remah di tangan manusia yang saling curiga. aku mematuki rahasia
paruhku yang kecil mengetuk dinding sunyimu. rahasia kehendak. garis takdir. Cintamu yang abadi, kueja berulangkali
aku hinggap dari ranting ke ranting, menerjemah gugur daun, menerjemah geliat ulat di paruhku, menerjemah embun dicium cahaya matahari di pagi hari
kau dengar kicau syairku, di halaman rumah, di pohon yang ranggas oleh kemarau, kicauku yang manis terdengar, adalah tangis
sayapku terlalu letih membentur badai tanyaku sendiri, bumi yang nelangsa, dunia yang membuatku mabuk tak berdaya
Malang, 26 Juli 2011
Akulah Air
Akulah air yang mengalir dari hulu ke hilir. Mungkinkah airmatamu? Membawa remah sampah luka manusia hingga ke muara, hingga ke lautan penampung segala kesah segala susah
Akulah air, akulah air, mengucur dari langit kenangan. Kenangmu pada airmata. Kenangmu pada cinta. Surga yang cahaya
Akulah air yang menyangga perahu perahu pengelana, dari gemericik kecil menjelma sungai sungai membelah kotamu membawa pesan gunung kepada lautan membawa pesan mata air ke gelombang lautan
Akulah air membawa saripati pegunungan, melarutkan garam kehidupan. Bagimu. Bagimu. Kupersembahkan cinta
Akulah air. Akulah air mengalir dalam tubuhmu. Mengalir dari matamu
Sebagai cinta mengalir. Sebagai rindu mengalir ke muara cintanya. Akulah air. Airmatamu!
Palembang, 2011
Melintasi Malam
pada buku berdebu, kau ingin membekukan waktu. karena secuplik ingatan, detik yang ingin terus tersimpan. serupa sajak, menyimpan jejak
demikian liris, demikian lirih, bisik angin pada angan. serupa rimis, menyapa miris, menitik di puncak detak. jam menggigil di dentangnya
malam kian menebal. cinta membuatnya kian bebal. dan rindu yang banal. ah, kenangan yang bengal! semakin tak kau kenal
Malang, 2011
MUSI MALAM HARI
Bulan mengambang
di langit lengang.
Jembatan ampera menyala di kejauhan
menyeberangkan angan
di musi yang mengalir tenang
Palembang, 2011
SENJA DI LANGIT LOSARI
Senja itu menyemburat di langit. Losari yang mulai menyalakan lampu lampu.
Senja di langit losari. Ucapkan salam pada pantai. Ucapkan salam pada tiang tiang pancang. Senja. Senja
Makassar, Juli 2011
Losari Siang Hari
Pantai Losari bermandi cahaya matahari.
Biru laut. Laut biru. Kapal dan perahu melaju.
Hari yang cerah. Langit yang biru.
Tersenyum padamu
Makassar, Juli 2011
SERUPA KABUT
serupa kabut, rahasia demi rahasia, menutupi mata, siapa hendak menerka isyarat dingin menusuk sumsum tulang. o petualang sibaklah
jam-jam mendetikkan jarumnya menusuk ke dada waktu. aku terhuyung bertiktak tak henti. menuju puncak. menuju puncak. ah, letihnya
kalimatku telah demikian parau. membahasakan suara-suara bergalau. ini gebalau tak tentu. gebalau kacau menyamarkan pandangku.
suara berdengung. mendengung. mikropon rusak. spiker sengau. penjual obat dan kursi bersitegang di balik pintu menandak mabuk di atas meja.
serupa kabut. mengacau pandangku. menebal tebal di perjalanan waktu. o engkau sibakkan dengan cahaya. cahaya yang menerobos kebekuan!
Malang, 12 Juli 2011
RINDU YANG NYERI!
telah kutapaki usia tahun demi tahun kepedihan mengingat dan melupakan, kehilangan dan menemukan cintamu
di dinding jam berdetik, di dada jantung berdetak, membayang waktu yang fana, hidup yang sementara
di hunus tajam runcing pedang cintaMu aku menyerah
tikamlah lagi hingga ke lubuk rahasia cintaMu hingga pecah karena diriku hanya menunggu waktu menatap wajahMu
mungkin perlahan aku membunuh diri sendiri. pelan pelan kan sampai padamu. Rindu yang nyeri!
pada akhirnya aku akan mati. dan segala degup akan berhenti.
Malang, 11 Juli 2011