UGM mempersembahkan Baca Puisi Kemerdekaan oleh Pecinta Puisi UGM - SESI 3
UGM mempersembahkan Baca Puisi Kemerdekaan oleh Pecinta Puisi UGM - SESI 3
Source : kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id
PESONA HAYATI INDONESIAKU
Karya: Budi Setiadi Daryono dan Wiko Arif Wibowo
Terbentang alam bumi dan isinya, bak surga mempesona
Mengukir pahatan Tuhan Yang Maha Sempurna
Indahnya… Indonesia
Tersusun ribuan gugusan pulau, bak permata Berkilau
Menelusuri hijaunya hutan dan birunya lautan
Indahnya…. Indonesia
Bertebaran kekayaan dan keanekaragaman hayati
Di darat, laut, dan angkasa, penuh beragam cipta
Menguntai rantai kehidupan yang sempurna
Indahnya…..Indonesia
Kilauan pesona dalam balutan ragam cipta
Teruslah bersatu dan berpadu dalam darah yang menyatu
Dirgahayu….Indonesiaku
Merdeka….Merdeka…Merdeka
Yogyakarta, 7 Agustus 2020
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Karya: WS.Rendra
Tuhanku,
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan napasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalan
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara ku lihat kedua lengan-Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati-Mu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
GERILYA…
Karya: WS Rendra
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya.
1955
-Siasat, Th IX, No. 42
UNTUK MEREKA YANG MENCABIK LUKA INDONESIA
Karya: Esti Nuryani Kasam
Luas wilayah kita menyediakan ladang penghidupan darat dan laut.
Sudahlah berlebih untuk hidup berukur cukup.
Berbagai tanaman dan hewan tak terhitung banyaknya.
Mencipta makanan di periuk dapur aneka rupa.
Tidakkah kita perlu menengok sejarah meski sekilas?
Penjajah menjarah nusantara, merampok dan menindas.
Lalu, seperti cerita-cerita usaha kelompok manusia yang menolak kalah.
Masa-masa keterdesakan itu melahirkan para pahlawan pemberani, menyabung nyawa,
pantang menyerah.
Negeri kita memakan korban rakyat, terbunuh pada persalinan kemerdekaan.
Luka dan air mata menyisa pada sepanjang waktu bertumbuh kembang.
Namun hari ini, setelah sekian waktu berlari, menebar benih agar hidup sejahtera.
Para pengkhianat mencoba menjatuhkannya atas nama kuasa surga kelompoknya.
Tuhan, ijinkan kami menuding dengan segenap kata yang kami miliki.
Kampung halaman ini bagi para petualang dunia, menguncupkan rasa jatuh hati.
Apalagi anak cucu ibu pertiwi yang menyusu pada tanah airnya.
Tentu dengan sigap mengasah senjata dalam segala bentuknya.
Mengancam pada mereka yang tak bernaluri dan berakal budi.
Berjiwa kering, miskin simpati akan perjuangan negeri ini.
Sebentuk penyakit yang sehausnya dibasmi tanpa meninggalkan akar yang boleh jadi
bertunas di masa datang.
Untuk kalian yang mulai mencabik luka Indonesia, kembali mengucurkan darah perang.
(Ponjong, Gunungkidul: 06 Agustus 2020)
“Maskumambang Panyirep Pageblug” &
KATA MERDEKA
Karya: Heru Marwata
Gusti Mahasuci Kang Murbeng Dumadi
Mugya paring srana
Ambrasta pageblug niki
Saking bumi Nuswantara
Jer titah sawantah sakdermi nglampahi
Kamula maminta
Nugraha Illahi Robbi
Nyirep sakehing memala
KATA MERDEKA (Heru Marwata)
“Merdeka”, gemuruh suara segenap anak bangsa, kira-kira 75 tahun lalu
“Merdeka merdeka merdeka …”, pekik ini telah kita dengar selama puluhan tahun
“Kita sudah merdeka, Cu”, kata kakekku, kira-kira 50 tahun lalu
“Kita sudah merdeka, Nak”, kata ayahku, kira-kira 45 tahun lalu
“Kita sudah merdeka, Mam”, kubilang pada istriku, kira-kira 25 tahun lalu
“Kau sudah merdeka, Bang”, kataku pada anak pertamaku, kira-kira 2 tahun lalu
Kata MERDEKA itu
Begitu signifikan
Begitu keras
Begitu lugas
Begitu jelas
Tetapi juga
Begitu saja
Begitulah …
Berliku jalan merdeka: kita telah mengalaminya, sebagai bangsa
Beribu jalan untuk memperjuangkannya: kita sudah mencapai dan menikmatinya
Mungkin saja, beribu-ribu tafsir bisa kita terakan atasnya
Bahkan, bisa jadi, berjuta tanya pun dapat kita ajukan tentangnya
Satu ini saja bisa mengundang banyak jawaban: benarkah kita sudah merdeka?
Enam bulan waktu kita telah dirampas dan ditelan
Penjajahan corona, COVID-19, telah menyengsarakan
Banyak aspek kehidupan diporakporandakan
Ternyata dari corona saja saat ini kita belum mendapatkan kemerdekaan
Semoga seiring peringatan tujuh belasan
Makin banyak kisah inspiratif dapat dibukukan
Makin banyak pengalaman hidup dapat diajarkan
Makin dewasa bangsa kita menghadapi tantangan
Makin sadar pula kita betapa pentingnya perjuangan
Bahkan untuk melawan musuh yang tidak kelihatan
Mari kita satukan yang telah terpisahkan
Mari kita pisahkan yeng mengganggu persatuan
Mari kita maknai kata merdeka, “merdeka”, dan ‘merdeka’
Mari kita nikmati, kita syukuri, dan kita jaga sepenuh jiwa
Salam tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, Yogyakarta, 07 Agustus 2020