UGM mempersembahkan Baca Puisi Kemerdekaan oleh Pecinta Puisi UGM - SESI 2
UGM mempersembahkan Baca Puisi Kemerdekaan oleh Pecinta Puisi UGM - SESI 2
Source : kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id
INDONESIA JAYA
Karya: Novi Indrastuti
17 Agustus 1945
Indonesia menghirup udara kemerdekaan
buah pengorbanan dari tumpah darah
tumpah lara, tumpah duka, tumpah airmata
inilah mahakarya pejuang dengan kesejatian cinta
cinta kepada tanah air, bumi Indonesia
Sang Saka berkelebat di angkasa raya
menuju puncak tiang kemenangan tertinggi
diiringi gema Indonesia Raya yang membahana
menyuarakan keyakinan terpatri dalam dada
hingga terasa bergetar sekujur jiwa dan raga
menyulut kobar semangat yang membara
membawa hati rakyat mencintai negeri ini
membangkitkan daya untuk menancap jejak
masa depan peradaban bangsa dan negara.
Indonesia berbanggalah
Sebab engkau adalah lahan kedamaian rasa
Dari ujung ke ujung terhampar permadani hijau
negeri permai dengan berjuta nyanyian alam
anugerah berjuta kekayaan alam yang meruah
tiap sudutmu mengisahkan cerita yang berbeda
suguhkan aroma keberagaman warna budaya.
Indonesia bersatulah…
mengencangkan temali simpul persaudaraan
menjahit tekad dalam satu asa tujuan
bergandeng erat melampaui titian halang
memadukan derap langkah menjunjung negara
sembari melangitkan doa-doa pengharapan
menuju tahta Indonesia Jaya.
GUGUR
Karya: W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
AGUSTUS 2020
Karya: Yayi Suryo Prabandari
Tujuh belas Agustus 2020…
Ada yang berbeda..
Betul kita sudah merdeka….
Tujuh puluh lima tahun lamanya……….
Apa yang berbeda?
Tetap berkibar bendera kita….
Tetap ada upacara……
Tetapi…lihatlah di berbagai warta….
Semua sedang waspada…
Melihat berbagai angka
Termasuk kita….
Meski ada upacara…
Meski kibar bendera…
Peserta upacara ada batasnya…
Tempat duduk ada selanya….
Tamu yang datang tak terlalu terlihat siapa…
Tertutup masker pada sebagian mukanya…
Sebagian ikuti upacara lewat dunia maya….
Berdiri dimana saja….
Yang penting ikut upacara…..
Yang penting ada yang tertangkap kamera
Yang penting ada kehadiran di berita acara
tidak ada gegap gempita …
tidak ada berbagai lomba….
Kalaupun ada pesta…
Berlangsung sederhana….
Namun tetap bersahaja
Tujuh belas Agustus 2020
Tidaklah sama dengan tahun sebelumnya…
Setelah hampir lima bulan lamanya…
Kita diminta untuk di rumah saja…
Tidak pergi jika tidak ada alasannya…
Karena kata otorita ada musuh tak kasat mata
Namun berkeliaran dimana-mana
Bisa menyerang siapa saja
Tidak pandang usia, kasta maupun harta
Dan sudah banyak yang berduka
Kehilangan mereka yang dicintainya
Tujuh belas Agustus 2020…
Rasanya seperti sebelum tahun empat lima….
harus bergerilya …..
siapa ngomong apa
Kita dibuat bertanya…
Mana kawan mana lawan….
Mana fakta mana bualan..
Siapa…..jadi pahlawan
Siapa jadi sukarelawan…
Siapa jadi punokawan
Tujuh belas Agustus 2020
Akupun bertanya kembali….
Akankah kita seperti dulu lagi…
Bisa reuni dan bersama menyapa pagi…
Bisa ke sekolah, bermain dan berbagi roti
Cengkerama di kampus mengembalikan sepi
Tujuh belas Agustus 2020
Kutundukkan kepala
Kukirimkan doa
Untuk Indonesia…
Kesekian kalinya
Agar segera terbebas
Dan lepas….
dari penyusup tak kentara…
yang dapat bikin meregang nyawa..
Indonesia pasti bisa
Indonesia pasti merdeka
Doaku
untuk Indonesiaku
Depok, Babarsari 5 Agustus 2020
Yayi Suryo Prabandari
MASKUMAMBANG
Karya: WS. Rendra
Kabut fajar menyusut dengan perlahan.
Bunga bintaro berguguran di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam, di dekat rumpun keladi, aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.
Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang Maskumambang.
Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan.
Karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, dan tidak
menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini, maka rencana masa depan hanyalah
spekulasi keinginan dan angan-angan.
Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan.
Cita-cita kebajikan terhempas waktu, lesu dipangku batu.
Tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.
Bangsa kita kini seperti dadu, terperangkap di dalam kaleng utang, yang dikocok-kocok oleh
bangsa adikuasa, tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan, yang mencontoh tatanan pembangunan di
zaman penjajahan.
Tatanan kenegaraan, dan tatanan hukum, juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum, hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat, hanyalah pemerintah dan partai politik.
O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!
Negara gaduh. Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar. Kampung dibakar. Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar. Toko dibakar. Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.
Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala. Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang. Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan
akal di dalam daulat manusia!
Namun daulat manusia, dalam kewajaran hidup bersama di dunia, harus menjaga daulat
hukum alam, daulat hukum masyarakat, dan daulat hukum akal sehat.
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur, telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang, yang bersenggama di udara.
“Mas Willy!” istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata. Aku bangkit hendak berkata.
“Sssh, diam!” bisik istriku, “Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.”