KUMPULAN SAJAK LIAR#1
KUMPULAN SAJAK LIAR#1
Source : pangestiblog.wordpress.com
untuk perempuan
Tidak ada seorang rela
bersolek pada teralis penjara
sekalipun sutera
lampu semprong yang menggantung di sudut
tinggal berdebu dan sarang laba-laba
dalam kesepian yang merongrong akal penuh
bergerak pena
yang menari di kertas
di kegelapan yang menghamba jiwa jenuh
tersebut kata
yang berbaris kalimat
menjadi sumbu yang menjalar ke segala arah
menimbulkan api
dari mata dan bibir yang tidak terbuka
seolah-olah berkata
ini sehabis gelap terbitlah cahaya
terang menarik kawanan merpati
hinggap di jendela
dan melepas pergi dengan bara
yang terselip di dasar amplop
terbang ke satu-satunya alamat singgah
dimanapun mereka berdiam
dan bersembunyi dari raksasa dunia
untuk keluar dari rumah
berjalan-jalan di pelataran taman kehidupan
sebab telah tiba fajar di ufuk
mengajak meneriakkan berjuta
harapan dan makna
sembari terus berpijak pada satu tujuan mulia
tujuan yang ada pula membekas di kening
ibuku,
guruku,
kawanku,
dan juga
-kamu-
Banjarbaru, 21 April 2017
Oleh : Dimas Airlangga
Aku Pernah Bermimpi
Malam itu aku bermimpi.
Mengimpikan negri yang lain,
yang aku harapkan aku dapat pergi kesana.
Tapi entah kapan.
Negri dimana kita semua dapat bebas beragama dan berkeyakinan,
tanpa batas dan tanpa paksaan apalagi keharusan.
Sebab agama dan keyakinan adalah hal yang personal dan tak dapat diatur oleh siapapun.
Negri dimana semua orang dengan beragam latar belakang punya hak yang sama,
Dimana si Ahmad,
Si Acong,
Si Made,
Si Joko,
punya kesempatan yang sama untuk jadi paskibra,
jadi tentara,
jadi pegawai negri,
jadi presiden sekalipun.
Negri dimana pemimpin dinilai dari kecakapannya,
bukan dari penampilan,
bukan dari kata-kata,
bukan dari kekayaan,
bukan dari dempulan palsu,
apalagi hanya dari keyakinannya.
Negri dimana anasir-anasir dogmatis dan fanatis takluk pada rasionalitas dan akal sehat.
Ya,
Memang aku mengimpikan negri yang sekuler, plural, dan demokratis.
Dimana kita semua bisa hidup damai dan berdampingan.
Dijiwai dengan nilai nilai kebebasan dan kesetaraan.
Kau boleh setuju,
Boleh tak setuju.
Sebuah negri yang takkan pernah terwujud.
Setidaknya selama masa hidupku.
Dan mataku tiba tiba merembes…..
Jakarta,
21.4.17
11.39AM
-Svetochka-
Setajuk Berita Teruntuk Seisi Kepala
Setajuk berita teruntuk seisi kepala yang lupa, telah sampai, dengan tanpa satu kata pun yang hilang tanda baca. Persis, sama seperti apa yang pernah kau tulis.
Setajuk berita teruntuk seisi kepala yang lupa, telah sampai, menyeringai penuh makna, menodai keinginanku untuk lupa.
Setajuk berita teruntuk seisi kepala yang lupa, telah sampai, ketika sebait sebab mulai mengembala ramai, di tengkuk kepala yang abai.
Setajuk berita teruntuk seisi kepala yang lupa, telah sampai, tentang seseorang yang pernah hilang; yang tak sudi dilupakan.
andhikahadip
Jakarta, 2017
KESENJANGAN PADI DAN KAPAS
Abu-abu yang kuinjak dan meja yang tak lagi menjadi wadah bagi jalan keluar.
Kini alam menyerah dan tak berpihak kepada siapa-siapa.
Ada yang kaya dan kelaparannya keluarga yang rela menunggu hujan,
dan tanah yang tak bertanam kentang melainkan bata penyokong istana para raja.
Selepas hujan, pelangi membias di antara kaca gedung bersusun dengan segala kehangatan.
Begitu hangat hingga gigil di sekujur badan bocah kecil yang larutnya binasah sebab hujan air mata di rumah beratap angkasa.
Diatas, pagi menyerupa kepedihan yang jenuh di segelas susu dan sarapan bergaya eropa.
Dibawah, sesekali pagi menjelma kebahagiaan dalam tas bocah yang jebol tersulam peniti.
Kita sebagaimana darah kekalahan atas ulah tulang yang menebas kesenjangan dengan kejam.
Ada jembatan di atas arus deras sungai yang mengantarkan anak-anak kepada sekolahnya, yang tak terlihat atau sengaja tak dilihat oleh penguasa yang sibuk menyesak berankas pada kamarnya.
Keadilan hanya ada di dalam bahasa dan punah di atas tanah.
Sepasang mata garuda kini buta, tak ada beda miskin dan kaya.
Padi dan kapas merenggas, sementara kesenjangan kian jelas.
Ibu pertiwi serupa ibu tiri, mengasingkan di pojok kanal bocah peribumi.
Toleransi yang selalu dikumandangkan tak seindah seorang kakak yang terpaksa tak makan demi adiknya tetap kenyang.
Kita seperti upacara.
Gagah berdiri kearah tiang yang tak menjawab apa-apa.
Rasanya aku lebih tertarik menatap sepatu dekil punya sendiri.
Sebab sesekali perjuangan di mulai dari kaki, bukan serak suara yang teriak dan berakhir tak didengar.
Inilah ceruk-meruk kehidupan, dimana semua tak ada beda.
Tawa kekenyangan dan tangis busung lapar dianggap sama.
Dari zaman proklamasi sampai teknologi informasi.
Masih ada saja rakyat yang mati kelaparan dan repot cari nasi.
•••••
Adri Lubis dan Pengagum Huruf “R”
Medan – Jakarta
April 2017