KUMPULAN SAJAK LIAR#2

KUMPULAN SAJAK LIAR#2

Source : pangestiblog.wordpress.com



h e l p

oleh: Shanug


Kenapa kamu memalingkan muka?

Saat air mata saya deras tak terseka.


Kenapa kamu menyingkirkan bahu?

Saat akal saya dirundung pilu.


Kenapa kamu menutup telinga?

Saat suara saya parau teriakkan pinta.


Bagaimana bisa kamu hanya diam?

Padahal niat hidup saya mulai terbenam.


Bagaimana bisa kamu malah heran?

Padahal peran saya hilang bukan perlahan.


Bagaimana bisa kamu tak peduli?

Padahal kamu alasan saya menyimpul tali.


Mengapa kamu baru engah dan terperanjat?

Saat yang tersisa tuk dilakukan adalah melayat.

Mengapa kamu baru tak segan?

Saat jasad saya sudah terbalut kafan?


Mengapa kamu baru sekarang tak menunda?

Saat saya sudah diusung keranda.

Padahal selama ini bukan bersenda.

Kata-kata saya bukan bercanda.


Kenangan Tak Pernah Bilang Akan Menghilang

Membujur dengan malam, kau hadir bergelimpangan bersama roda-roda sepeda yang dipacu alakadarnya. Memutar partitur diam dengan mengatupkan mulutnya menjadi lengkung sekadar. Menyalakan lentera di kejauhan, jauh, sejauh gerak langkah yang kalah dengan rasa bersalah.


Semerah saus tomat kedai bakso selatan jalan, bayangmu menghitam kecap, tubuhmu asam cuka, dan wangimu menyatu di antara ketiganya. Mengaburkan kepulan asap hangat yang kutiup perlahan, menghangatkan ingatan yang dikaburkan kedinginan.


Berjajar saling tinggi pohon mahoni, menunggu senja tiba memanjangkan bayangnya. Menutupi aspal hitam kasar dan ceceran ludah orang tertawa. Kau pernah di sana, di atasnya, melewatinya kita bersama.

-kitabgundul

Bekasi, April 2017


Saat langit dijanda matahari

Kulihat bulan datang mencoba mengganti

Entah mengapa langit tetap meredup

Remang sinar bulan tak pernah cukup


Keesokan pagi. saat matahari dan langit rujuk kembali

Bulan menepi pergi; langit tak peduli

Tidak bulan tak pernah pergi

Ia hanya sembunyi, memperhatikan langit dari sisi yang ia sukai


Bulan tahu, Ia resesif dari matahari yang mendominasi

Bulan tahu, langit selalu cerah bersama matahari

Bulan tahu, cahayanya tak pernah cukup untuk semesta

Tapi bulan tak tahu, betapa indahnya gelap langit saat bersamanya

Bahkan ribuan bintang ikut tersenyum melihatnya


ChairulRahman

Lampung, 2017


Apa Kita Bahagia?

Penulis: HMajida


/1/

Malam terbit dari kedua matamu

Bukankah kau sudah berjanji untu tidak mengungkung kematian?

Sedihmu melahirkan aku

Namun aku hendak melahirkan bahagia untukmu

Sanggupkah?


/2/

Bulan berjingkat menemui pagi

Sangkaku, kita harusnya menemukan rumah yang baru

Yang kokoh tanpa reyot digerogoti memori kusut

Yang berpendar seperti lagu lawas kesayanganmu dengan nada minor


/3/

Lau, apa selama ini kita bahagia?

Untuk: panda

2017


ADINDA

Setiap malam aku melukis wajah dan senyuman,

membentuk rasi bintang di langit metropolitan

Sayang, kau sempurna dengan nur netra yang kutitikkan

Kau gemintang paling benderang

Tidak akan terurai sampai pagi datang


Sayang, rindu ini bukan lagi noktah

Ia menjalar, menggumpal menjadi desah

Entah aku atau ego yang lebih bersalah,

rasanya godam rindu ini membuatku bernafas tanpa celah


Sudahilah amarah

Atas nama rindu dan cinta aku mengaku kalah

Mohon jangan menjadi lakuna untuk jiwa yang sengasara

Kembalilah sebelum purnama kedua tiba


Balaslah pesanku yang kau tunda

Agar benak gila ini bisa ditenang oleh kata-kata

Jangan membuatku menunggu dengan paksa

Sebuah pesan tidak akan sempurna jika tidak dibaca


Sayang, sudahilah

Kembalilah

Kini dekapanku hanyalah angin yang singgah


—chrs // nid


Ketidaksanggupan yang Diharuskan


Aku harus bergegas merapikan sisa-sisa wangimu di kolong hidung dan telapak tangan, puisi-puisi bekas kau dan aku yang masih berserakan, bekas duduk kacamatamu di tulang hidungku, pekik tawa yang mulai layu, dan perihal lain yang hanya kita yang tahu. Aku tak ingin wanitamu cemburu saat menatapku sedang merekap tempat-tempat, atap-atap, kursi-kursi bioskop atau semua meja yang pernah kau dan aku setubuhi.


Aku juga harus melucuti kenang yang sudah terlalu lama berduduk-duduk di rahang kepala—tentang malam yang ramai hujan dan bising kendaraan, juga kau dan aku yang ramai pembicaraan. Atau inginku menahan kepergian setelah berlama-lama kita menyusuri tempat-tempat asing yang sebelumnya tak pernah kita labuhi.


Aku harus bisa terima bahwa telah kau temukan beranda rumah yang ramah serta jauh dari atap-atap bocor sebab rinduku tak geming dan selalu gaduh. Aku harus bisa terima bahwa telah mengalir dalam tubuhmu rasa percaya pada mata yang bukan lagi aku. Aku harus terima bahwa telah kau letakkan kedua belah tanganmu di selapang dada selain aku.


Gwyll S.

2017